Siapa
yang tahu akan seperti apa Negara Indonesia kelak? sebuah negara yang dihuni
oleh 270 juta jiwa, kian bertumbuh dan berkembang mulai dari perekonomiannya,
kualitas hidup warganya, dan lain sebagainya. Pun tidak terlepas dengan
perkembangan bahasanya, di mana hal itu merupakan instrumen terpenting bagi
manusia dalam berkomunikasi. Bahasa juga merupakan komponen terpenting dalam eskalasi
mutu kognitif seseorang. Di saat seseorang membaca, hal pertama yang diproses
oleh mata dan otak adalah runtutan kata yang dinamakan dengan bahasa. Dan metode
bagaimana kita menyerap bahasa tersebut disebut literasi.
Acap
kali orang-orang gagal menangkap sebuah pemahaman disebabkan oleh penyampaian
bahasa yang memang sukar diterima, atau bahkan kesalahan yang terdapat pada
diri mereka sendiri, yang keliru dalam memproses sebuah informasi. Literasi
sebagai produk terpenting dari hadirnya bahasa, menjadi urgensi bagi setiap
insan untuk menghindari pemahaman yang keliru atau lebih parahnya lagi
penyelewengan informasi. Yang dikhawatirkan dari kedua kefatalan tersebut
adalah seseorang akan hidup dengan pemahaman yang menyimpang dan menyebarkan
pemahaman keliru tersebut kepada khalayak. Hal ini menjadi kekhawatiran
penulis, dimana bahasa dan literasi merupakan essence dari terciptanya
peradaban bangsa yang unggul.
Oleh
karena itu, apabila seseorang belum mampu menyerap informasi secara baik, ada
baiknya melakukan validasi terlebih dahulu, baik mencari informasi serupa yang
lebih kredibel, atau langsung bertanya kepada ahlinya. Dalam Bahasa Sunda,
terdapat dua jenis kebodohan, yaitu bodo alewoh dan bodo katotoloyo. Lugasnya,
orang tua dari masyarakat Sunda selalu menasihati anak-anaknya dengan ungkapan,
“kudu bodo alewoh, ulah bodo katotoloyoh!”. Artinya adalah, harus bodoh
tapi mau bertanya, jangan bodoh tapi tidak mau bertanya. Ungkapan lain yang sering
kita jumpai adalah, “Malu bertanya, sesat di jalan.”
Sayangnya,
kebanyakan masyarakat enggan dan malas untuk sekadar cross-check terhadap
informasi yang mereka dapatkan. Rasa gengsi dan tidak ingin dianggap salah
adalah alasan mengapa mereka tidak mengindahkan budaya tabayyun. Sebagai
seorang warga negara yang memiliki perhatian khusus pada bahasa dan literasi, penulis
dan tentunya pegiat literasi lainnya menyayangkan kebiasaan buruk ini. Hadirnya
gawai di tengah masyarakat yang masih perlu pendampingan, mengakibatkan
Indonesia mendapat stigma buruk dari masyarakat dunia.
Dari
problematika yang umum terjadi itu, mari kita beritikad untuk selalu
mendampingi masyarakat, khususnya masyarakat usia >50 tahun, agar tetap pada
jalur aman dan mencegah dari penggiringan opini buruk, tidak sedikit informasi
yang mereka dapatkan tidak memilki sandaran yang kuat dan valid. Pendampingan
tersebut dimulai dari mengedukasi orang tua sendiri untuk tidak mudah ditelan
hoaks, dan juga mewanti-wanti agar tidak menyebarkannya. Obrolan daring milik
orang tua di platform WhatsApp, sering kita dapati siaran pesan yang memprovokasi
hingga penipuan melalui tautan, yang ditakutkan akan mencuri data di dalam
gawai mereka.
Tidak
luput dari pengecualian, generasi muda pun perlu pendampingan dan edukasi
tentang literasi. Apalagi generasi muda saat ini sangat lihai dalam beradu argumentasi.
Yang perlu kita tekankan adalah dari mana mereka mendapatkan informasi,
bagaimana mereka memahami informasi tersebut, dan seperti apa interpretasi
ulang mereka terhadap sebuah informasi. Problematika yang banyak terjadi adalah
generasi muda kerap kali memiliki interpretasi ulang yang keliru, jauh dari
maksud dan tujuan informasi tersebut. Juga tidak sedikit dari mereka yang hanya
memotong beberapa kalimat dari sebuah informasi, yang dirasa kalimat itulah
yang memihak opini mereka, dan mengabaikan keseluruhan informasi lainnya. Peristiwa
yang sedang populer terjadi adalah informasi buntung yang mereka dapatkan dari media
sosial. Sumber yang abu-abu, pemaparan yang menggantung, dan narasi provokatif menjadi
kekhawatiran penulis terhadap perkembangan literasi pada Generasi Muda
Indonesia.
Kemudian
yang menjadi bahan perhatian terhadap peradaban bangsa ini adalah
bahasa. Indonesia memiliki satu bahasa nasional dan beratus-ratus bahasa
daerah. Selain itu, bahasa asing seperti Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa
Mandarin, dan bahasa lainnya pun ikut hadir guna memperkenalkan Indonesia
kepada jendela dunia yang luas. Setidaknya seorang Warga Negara Indonesia wajib
menguasai bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa internasional sebagai
opsional ketiga. Penguasaan bahasa daerah sebagai alat komunikasi lokal di daerah
masing-masing, Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu antar warga daerah,
dan Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional yang menghubungkan
Warga Indonesia dengan warga negara lain.
Selain
ketiga jenis bahasa tersebut, warga yang menganut Islam agaknya wajib
menguasai Bahasa Arab sebagai alat komunikasi antar-semesta, yakni manusia
dengan Tuhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, karena dikenal
dengan kerumitannya, Bahasa Arab kerap kali diacuhkan, banyak orang beranggapan
bahwa Bahasa Arab cukup tahu saja untuk dibaca saat shalat dan berdoa. Pada
dasarnya, Bahasa Arab memiliki kemuliaan tersendiri bagi seluruh umat manusia,
khususnya Umat Islam. Dengan menguasai Bahasa Arab dengan fasih dan benar, kita
mampu bersahabat dengan Al-Qur’an, Hadis, dan perkataan sahabat juga ulama
terdahulu. Yang mana terdapat banyak pengajaran di dalamnya untuk kehidupan
kita. Seorang Muslim dijanjikan kemenangan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, apabila
ia mengutamakan dan menolong agama-Nya (QS. Muhammad:7). Dunia dan isinya
hanyalah maslahat tambahan setelah seorang Muslim menyelesaikan kewajibannya
kepada Tuhan dan agama-Nya.
Memperkenalkan
urgensi dan esensi bahasa merupakan tanggung jawab kita semua. Bahasa daerah sering kali dianggap remeh karena
stigma kampungan, namun dengan apa lagi kita dapat mengenal saudara
se-daerah kiita tanpa bahasa daerah tersebut? Kemudian dengan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang merusak keotentikan
bahasa ini. Banyak juga orang yang awam terhadap tata bahasa dan penulisan yang
baik dalam menggunakan Bahasa Indonesia. Yang terakhir adalah Bahasa Inggris, beserta
bahasa negara lainnya sebagai bahasa internasional. Di era dewasa ini,
persaingan antar-negara semakin ketat. Untuk memperkenalkan karya bangsa,
seluruh warga Indonesia seyogyanya menguasai bahasa yang menjadi penghubung
berbagai kultur dunia, yang salah satunya adalah Bahasa Inggris.
Dari
kedua aspek di atas, yakni dari pandangan umum dan agama, dapat kita simpulkan
bahwa bahasa dan literasi memegang peran penting dalam membangun peradaban
sebuah bangsa. Bahasa dan literasi adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Berperan sebagai alat komunikasi, di mana terjadi pertukaran
informasi yang akan diproses oleh otak manusia sebagai suatu ilmu yang memandu
jalan hidupnya. Maka dari itu, akan sangat fatal apabila seseorang menjalani
hidupnya dengan pemahaman yang keliru, hingga memengaruhi orang di sekitarnya.
Terlebih lagi bagi seorang Muslim yang harus menyampaikan kembali ilmu yang ia
dapat sebagai bentuk kewajiban. Dalam menyampaikan sebuah ilmu, diperlukan
penguasaan bahasa yang baik dan fleksibel untuk menjangkau pendengaran penyimak
lebih efektif dan efisien. Dan dibutuhkan daya literasi tinggi agar seorang da’i
mampu menghindari dari kefatalan berhujjah dan mencegah dari pemahaman yang
sesat menyesatkan.
“Suka
baca buku itu baik, akan tetapi, dimana posisi kita sebagai pembaca? Pembaca
aktif yang teliti dalam memproses informasi; atau pembaca pasif yang hanya
membaca selewat atau bahkan mengabaikan dan menyelewengkan informasi yang
krusial?” —Penulis
Author: Anisa Hanifah/Kontributor
Penulis merupakan mahasiswa jurusan Sastra Inggris semester 3 dan anggota LPB angkatan Revolta.
Editor: Aulia Nursoleha