Krisis Moralitas Generasi Alpha, Siapa yang Harus Ambil Peran ?


Dewasa ini peradaban manusia telah kemunculan generasi baru, dibawah generasi sebelumnya yakni generasi Y atau akrab dikenal dengan generasi milenial, dengan karakteristik yang begitu bertolak belakang dengan generasi X. Saat ini generasi Y sudah menginjak usia produktif dalam rentang usia 23-36 tahun. Kemudian lahir kembali generasi Z yang lahir antara tahun 1995-2010. Perlu diketahui, generasi Z kini tengah berada pada permulaan memasuki fase dewasa mereka, tidak lama lagi merekalah yang akan mengambil alih kendali dunia dari para milenial. Dalam waktu yang bersamaan pula para balita itu lahir, Generasi baru yang kita kenal dengan "Generasi Alpha ".

Generasi alpha merupakan anak-anak yang dilahirkan oleh generasi milenial. Istilah ini dikemukakan oleh Mark Mc. Crindle melalui tulisan di majalah Business Insider (Christina Sterbenz, 2015). Generasi alpha yang lahir pada tahun 2011-2025 ini merupakan generasi yang paling akrab dengan teknologi digital, juga generasi yang diklaim paling cerdas dibandingkan generasi sebelumnya. Sebanyak 2,5 juta anak generasi alpha lahir ke dunia setiap pekannya. Anak-anak generasi alpha merupakan generasi pertama yang benar-benar telah hidup berdampingan dengan teknologi canggih sejak mereka dilahirkan. Hal tersebut dipaparkan dalam Guest Journal. Dari alasan inilah mereka juga kerap disebut sebagai "generasi digital". Mc. Crindle juga memprediksi bahwa generasi alpha tidak lepas dari gadget, sehingga cenderung kurang bersosialisasi, kurang daya kreativitas dan bersikap individualis. Keasyikan mereka terhadap gadget membuat mereka teralienasi secara sosial.

Pemandangan anak berusia dua tahun yang telah lihai menggunakan perangkat lunak itu tentu bukanlah pemandangan yang mengherankan di masa sekarang. Untuk mendukung perkembangan ini, beberapa kurikulum pendidikan di beberapa negara mulai menambahkan. pelajaran pemrograman komputer pada sekolah dasar dan menengah. Para ahli melihat generasi ini akan tumbuh menjadi generasi yang unggul, luas wawasannya, dan kritis. Mereka tidak ragu untuk mengungkaphan ide-idenya tentang suatu hal.

Ungkapan "Tak ada gading yang tak retak" kali ini juga dapat kita tujukan untuk generasi alpha ini. Di samping kelebihannya dalam aspek intelektual, di era yang segalanya dapat kemudian diakses dengan mudah dan cepat. Mayoritas mereka cenderung merasa hidup itu bebas dan tidak harus mengikuti aturan. Mereka beranggapan bahwa aturan adalah sesuatu yang sengaja diciptakan untuk dilanggarnya. Sehingga untuk membentengi hal tersebut nilai-nilai moral haruslah ditanamkan dan menjadi dasar mereka hidup dan berkembang.

Maka disamping kita menata kurikulum pendidikan yang memfokuskan pada sisi pendidikan kognitif atau pengetahuan, terdapat aspek yang seringkali terlewat untuk diindahkan yakni pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pengajaran kepada anak maupun orang dewasa guna membantu mereka lebih berkembang dalam segi sopan santun, dan berperilaku baik secara sosial, maupun emosional.

Dalam perspektif Islam, pendidikan karakter didahulukan sebelum pendidikan intelektual. Seperti pada satu ungkapan dari Imam Darul Hijrah, Imam Malik pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
"Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu."

Dengan kata lain agama Islam menganjurkan para pencari ilmu untuk memiliki moral atau adab yang baik terlebih dahulu. Ungkapan lain yang sempat disampaikan oleh seorang tokoh muslim kawakan, Buya Hamka. Beliau mengatakan, "Iman tanpa ilmu bagai lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri." Ungkapan-ungkapan tersebut menjadi tamparan keras bagi kita untuk tidak menganggap remeh pendidikan karakter. Hal ini merupakan tantangan bagi seluruh tenaga pendidik. Seorang pendidik baru dapat dikatakan berhasil apabila seorang siswa mampu terdidik dari segi moral dan intelektual.

Tenaga pendidik tidak bisa kita canangkan secara buta hanya kepada seseorang yang berprofesi sebagai guru saja. Karena pendidikan karakter tidak akan bisa mencapai tujuannya jika tidak ada kerjasama dari pihak yang lainnya seperti dalam unit terkecil, keluarga. Figur orang tua sudah seyogyanya dapat memberikan pendidikan karakter dengan mengaplikasikannya terlebih dahulu di lingkungan tempat tinggalnya. Namun pada kenyataannya tidak sedikit orang tua yang justru seolah mendukung tindakan amoral yang dilakukan oleh buah hatinya. Hal ini acap kali terjadi disebabkan oleh rasa sayang yang berlebih dan cara mengekspresikannya yang kurang tepat. Tanpa sadar mereka terlalu sering mentoleransi tindakan amoral buah hatinya, sehingga orang tua tidak tahu kapan harus membenarkan tingkah laku anaknya dan kapan mereka harus menegurnya.

Sehingga semakin kita pahami bahwa yang memiliki andil dalam perbaikan moralitas generasi alpha saat ini bukan hanya Bapak/ Ibu gurunya saja, melainkan kita semua. Semua pihak harus dengan kompak ikut serta mengambil peran dan turut berkontribusi, dimulai dengan kesadaran dari setiap individu, kelompok, satuan, hingga akhirnya kelak dapat sama-sama kita rasakan perubahan tersebut. Jangan biarkan kebiasaan amoral pada generasi penerus ini muncul ke permukaan. Besar harapan agar kemajuan pada setiap generasi senantiasa berdampingan dan selaras, antara intelektualitas dan moralitas yang luhur.

Ada kekuatan-kekuatan yang dapat ditekankan dalam rangka mempengaruhi dan menyosong potensi dasar menjadi kokoh yaitu menginternalisasikan nilai-nilai budi pekerti melalui pendidikan Islam. Pendidikan agama Islam secara subtansi memiliki empat aspek materi yaitu Qur'an-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan/Peradaban Islam. 

Keempat materi tersebut ialah sebagai penunjang agar peserta didik mampu menjadi ibadurrahman sesuai tujuan pendidikan Islam. Keempat materi tadi memiliki peran dan fungsi yang berlainan namun juga berketerkaitan dalam rangka membentuk dan membangun karakter yang berakhlak dan berbudi pekerti.

Pendidikan karakter yang ideal dalam Islam tadi masih menjadi menara gading yang belum memiliki makna yang berarti bila hanya sebatas ide dan teori saja. Untuk itu diperlukan bagaimana tindak nyata pengimplementasiannya dalam praksis pendidikan baik di sekolah, di rumah maupun pada lingkungan lainnya.

Author: Nadila Maryam (Rectoversa)
Editor: Sulis Yutrisna (Revolta)

Post a Comment

0 Comments